Wifi-isme; Antara Mode Baru dan Dekadensi Literasi di Perpustakaan


Kalau tidak salah, 120 hari yang lalu kujenguk gedung yang penuh sesak dengan berbagai sub-genre buku yang terpajang rapi di rak dan lemarinya. Gedung yang berisi koleksi buku tersebut merupakan perpustakaan yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.

Fasilitasnya pun bikin ketagihan. Siapapun yang pernah menginjakkan kaki di perpustakaan ini dipastikan betah berdiam berlama-lama. Setiap pojok ruangan terdapat meja dan kursi ditambah AC yang dingin, tidak lupa wifi gratis bagi pengunjung perpustakaan membuat penghuninya betah mendiami ruangan yang penuh buku tersebut berjam-jam.

Bila diperhatikan, pengunjung perpustakaan yang dominan para pelajar dan mahasiswa memang mengambil buku dari raknya, kemudian berdiam atau mengasingkan diri di pojok atau dibalik rak buku, lalu duduk dibawahnya sembari membuka buku dan gadget. Buku tersebut tetap dalam keadaan hangat dan tanpa dibuka kembali halamannya alias hanya terbuka begitu saja. Sedangkan gadget lancar beroperasi dengan sambungan wifi yang menjanjikan.

Ironinya, kaum literat seperti pelajar dan mahasiswa yang rajin keluar masuk perpustakaan bukan membaca buku, melainkan demi mendapatkan koneksi wifi gratis yang terdapat di perpustakaan. Buku tersebut oleh kaum literat saat ini hanya dijadikan simbol literasi, sedangkan bahan bacaan didapat dari gadget bukan buku yang dipegangnya. Wifi menjadi barang konsumen yang baru dan mewah, mengkormesialkan kegiatan literasi di perpustakaan demi tetap menarik minat baca ke perpustakaan.

Pemandangan ini yang kudapati bila berkunjung  ke perpustakaan, para pelajar ataupun mahasiswa cuma mengambil buku dari rak bukan berarti hendak dibaca, melainkan hanya teman berselancar wifi di gadget.

Pernah suatu ketika kuajukan pertanyaan kepada salah satu pelajar yang asyik dengan gadget ditangannya dan mengapa buku tersebut hanya ditaruh di atas pangkuannya. Pelajar tersebut berpendapat bahwa sumber bacaan maupun referensi lebih lengkap dan mudah ditemukan di gadget ketimbang harus bersusah payah membaca halaman demi halaman buku yang belum tentu ketemu dengan sumber yang dimaksud.

Para pemburu wifi yang berdiam diri dengan gadgetnya ini kemudian kusebut dengan wifi-isme. Demi mengakses segala yang dibutuhkan di laman website dengan koneksi wifi, selama itu gratis maka misinya pun akan berjalan sukses. Buku hanya sebagai pemanis, simbol agar tidak dicap anti-literat. Mereka ini merupakan pengunjung setia perpustakaan selama wifi hadir didalamnya.

Namun tidak semua pengunjung perpustakaan seperti pelajar dan mahasiswa lantas meninggalkan bau buku. Sebagian diantara mereka masih setia membuka buku per buku untuk menemukan sumber yang dimaksud. Mereka merupakan kaum literat yang masih loyal dengan budaya literasi meskipun teknologi telah menggeser tradisi literasi. Namun tetap saja wifi kini lebih eksis ketimbang perpustakaan itu sendiri dalam mengarungi dunia literasi.

Bila terdapat perpustakaan yang sepi pengunjung, mungkin saja akan kusarankan untuk memasang wifi diperpustakaannya dan dalam beberapa hari perpustakaan tersebut akan ramai didatangi pengunjung secara drastis. Namun saya tak ingin munafik bila wifi hanya dijadikan alat pembujuk agar perpustakaan ramai dikunjungi dan mengabaikan peran perpustakaan sebagaimana mestinya.

Realitanya, kini perpustakaan banyak yang sudah memiliki wifi dan keluhan sepi pengunjung mulai berkurang. Dengan berbagai alasan yang diutarakan oleh pengelola perpustakaan seperti menyesuaikan dengan perkembangan zaman, apalagi terdapat e-perpustakaan dan e-book yang mudah diakses di gadget, ataupun untuk menarik minat berkunjung ke perpustakaan, itu semua pada intinya menginginkan agar perpustakaan dapat terus eksis seiring perjalanan zaman yang mungkin saja dapat memunahkannya bila tidak mampu beradaptasi.

Literasi kini kini hanyalah sebuah simbol ataupun barang yang langka. Buku hanya menjadi simbol literasi dan bahan bacaan dapat diakses di gadget. Kini zamannya manusia yang diperbudak oleh barang teknologi. Buku mulai banyak ditinggalkan dan beralih ke e-book yang praktis dan mudah diakses di browser tanpa harus merogoh kocek yang dalam untuk memiliki sebuah bahan bacaan seperti buku.

Terbesit pertanyaan melihat fenomena perpustakaan yang setiap hari menerima banyak pengunjung dengan beranekaragam tujuan, 'sesungguhnya para pengunjung ini mendatangi perpustakaan apakah untuk mengendusi kemudian mencumbui bukunya, atau hanya sekedar merampas si buku dari rak kemudian membengkalaikannya karena perhatiannya tertuju pada koneksi wifi di gadget.

Lantas apakah dengan cara ini satu-satunya jalan tikus agar perpustakaan didatangi pengunjung yang ramai setiap hari? Mestikah terjadi revolusi pada literasi yang 'tanpa' buku dan cukup dengan gadget?

Bila tujuannya hanya untuk mendapatkan koneksi wifi gratis, saya kira mereka sebenarnya tidak perlu mengambil buku dari raknya, kemudian ditelantarkan setelah gadget terhubung dengan wifi dan bebas berselancar di dunia maya. Padahal mereka cukup datang ke perpustakaan, mengisi daftar pengunjung, lalu duduk di kursi untuk mengakses wifi tanpa harus membodohi dirinya sendiri dengan mengambil bukunya terlebih dahulu lalu mengabaikannya setelah gadgetnya tersambung dengan wifi. Saya kira ini hal yang konyol atau mungkin saja mereka takut di cap anti-literat bahkan diduga tidak ada niat membaca buku di perpustakaan.

Seringkali kujumpai raut wajah para orang tua yang resah akan pergaulan putra dan putri mereka dengan benda canggih ini. Mereka berpandangan bahwa pada hakekatnya yang dicari anak-anak maupun pemuda era millenial ini bukan buku ataupun e-book, melainkan media sosial dan games yang dewasa ini sedang menjamur di kalangan anak-anak maupun remaja.

Games atau permainan tersebut lebih seru menggunakan sambungan internet daripada yang offline (tanpa internet). Bisa jadi dugaan para orang tua itu benar bahwa pelajar maupun mahasiswa yang berbekal gadget dan mengunjungi tempat-tempat yang ber-wifi tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk mengakses apa yang diinginkannya. Wallahualam.

Meskipun dari data yang kudapati, Indonesia merupakan negara dengan budaya literasi terendah, namun bertolak belakang dengan data jumlah pengunjung perpustakaan yang malah melonjak akhir-akhir ini. Saya sempat berasumsi, budaya literasi tidak dilihat dari banyak sedikitnya jumlah pengunjung perpustakaan, namun banyak sedikitnya mereka yang baca buku di perpustakaan atau yang meminjam buku tersebut lalu mengembalikannya, dan apakah sudah habis baca atau akan melanjutkan bacaannya bila belum beres dibaca.

Sempat terdengar isu pemerintah ingin menjadikan perpustakaan sebagai tempat rekreasi. Rekreasi yang dimaksud disini adalah berbasis literasi, sesuai dengan ruhnya perpustakaan. Namun apakah dengan hadirnya wifi diperpustakaan merupakan satu-satunya cara dalam membasiskan literasi dalam wahana rekreasi inter-perpustakaan? Ku kira itu hanyalah akan memperkosa fungsi perpustakaan dan mendatangkan banyak pengunjung yang tidak memiliki gairah untuk membaca buku, melainkan membaca gadgetnya sendiri. "Literasi yang bopeng sebelah" karena wifi telah merenggut minat literasi pengunjung terhadap buku dan mengalihkan perhatiannya ke gadget.

Bagi seorang literat sejati, yang masih loyal dan menghargai buku-bukunya, kehadiran wifi di perpustakaan bukanlah satu-satunya cara dalam menarik minat pengunjung ataupun minat baca di perpustakaan.

Pihak pengelola perpustakaan bisa saja mengadakan program dalam rangka meningkatkan minat baca ataupun minat berkunjung ke perpustakaan seperti mengadakan workshop penulisan, bedah buku, pojok diskusi, hingga gelar lapak baca di lokasi strategis maupun mengunjungi secara berkala ke daerah-daerah terpencil yang masih minim sarana literasi.

Jika memang kehadiran wifi difungsikan untuk memperkaya referensi maupun sumber bacaan, perkembangan teknologi dalam pengarsipan di perpustakaan, dan keperluan literasi lainnya itu patut diacungkan jempol.

Bila perlu, kebutuhan baca buku di perpustakaan dan pemanfaatan wifi untuk berselancar di browser dalam rangka memperkaya referensi semestinya diseimbangkan. Ini agar peran literasi di perpustakaan dan wifi pada gadget tetap sejalan dalam meningkatkan wawasan para pengunjung perpustakaan.


Penulis : Ahmad Yudi S




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meriahnya Puncak Acara Dies Natalis STIKes Respati Tasikmalaya Ke-15 Dengan Gerak Jalan Sehat Yang Mengedukasi

Partograf Digital, Aplikasi Praktis Pemantau Persalinan Ala Dosen Prodi Kebidanan, STIKes Respati Tasikmalaya

Peringatan Hari Ibu Hingga Seminar Dosen Mahasiswa