[Cerpen] Pengamen Yang Sukses


Ada-ada saja, orang ini mengamen di bis, pikirku sambil tidak sengaja mengamati wajahnya, tidak terlalu jelek bahkan dapat dikatakan sedikit tampan tetapi rambutnya itu yang kewer-kewer keluar dari topi hitamnya yang membuat dia kelihatan juellek sekali.”Permisi, Mbak Gita”, sialan dia kok kenal namaku membuat risih saja, belum tiga puluh detik dia bernyanyi, segera saja aku memberi uang seribu supaya cepat pergi. ”Terima kasih, Mbak Gita”, katanya sambil ngeloyor ke penumpang lain. ”Yang turun Gambir siap-siap”, teriak kondektur.

Aku turun, melalui ekor mata aku melihat pengamen itu juga turun. Aku mempercepat langkahku tetapi dia mengikuti terus.”Mbak Gita, ini lho Didit”, teriaknya. Tiba-tiba aku menoleh, waduh benar saja betul dia si Didit si bajingan kecil. Kaca mata dan topinya sudah dilepas, setelah hilang kagetku aku memberikan senyum kepadanya.

”Woo, Mbak Gita sombong ya”.”Wah kamu ini dari dulu orangnya nekad masak mengamen di bis sih”, kataku. ”Tidak ada salahnya kan, Mbak Gita saya mengamen di bis, daripada saya menganggur, apalagi sekarang cari kerja susah”, jawabnya sambil memain-mainkan topinya. ”Sejak kapan, Dit kamu mengamen di bis? ”, tanyaku sambil memperhatikan gaya Didit yang sok banget meniru gaya artis. ”Sejak aku lulus SMK, jawabnya sambil memakai kembali topinya. ” Kalau boleh aku tahu kamu mengambil jurusan apa ketika di SMK? ”, tanyaku dengan menatap wajah Didit. ”Aku mengambil jurusan Informatika, Mbak Gita, berhubung orang tuaku tidak mempunyai biaya untuk mengkualiahkanku terpaksa aku jadi pengamen”, jawabnya.

”Aku yakin kamu masih seperti yang dulu, Didit yang suka iseng sama temen tapi kamu orangnya cerdas karena kamu pernah menjadi sainganku ketika di SD, kamu masih ingat kan waktu kita masih di SD? ”, tanyaku. ”Masih dong, Mbak Gita, dulu kan Gita orangnya tomboy”, kata Didit sambil tersenyum meledek. ”Aku baru ingat, kemaren ayahku cerita bahwa besok lusa ada tes wawancara penerimaan karyawan baru di bagian pemasaran Perusahaan Penerbit Buku Islam Qurrota Ayun, aku harap kamu ikut dalam tes wawancara tersebut. Ini kartu nama ayahku, ayahku adalah direktur dari perusahaan tersebut. Berhubung mobilku sedang diperbaiki terpaksa aku naik bis, tidak apa-apalah aku ingin sekali merasakan naik bis”. ”Saya salut sama kamu, Git. Di jaman sekarang ada ternyata ada juga anak direktur naik bis”, pujinya.

”Meskipun aku anak direktur tapi ayahku selalu mengajarkanku untuk tetap hidup sederhana dan tidak sombong”, jawabku. ”Kalau begitu aku pergi dulu ya mau belanja ke supermarket, sebaiknya kamu segera menghubungi perusahaan ayahku” , pamitku sambil melangkahkan kaki meninggalkan Didit.


*****

Ternyata Didit mengikuti saranku untuk tes wawancara penerimaan karyawan baru di perusahaan ayahku. Alhamdulillah dia lolos seleksi tes wawancara dan sudah lima tahun dia bekerja di perusahaan ayah. Aku tidak pernah tahu keadaan dia sekarang seperti apa karena kesibukanku kuliah di Fakultas Kedokteran Trisakti Jakarta, sebulan setelah wisuda aku bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan dua bulan kedepan aku melanjutkan spesialis kandungan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Semenjak aku kuliah di spesialis kandungan aku mulai ikut kajian ahad pagi di masjid Istiqlal.

Aku baru menyadari hakikat hidup ini, ternyata hidup di dunia cuma mampir, kehidupan yang kekal adalah kehidupan ukhrawi. Aku juga baru menyadari bahwa seorang mumin itu dalam segala aktivitasnya tujuannya harus lillah, so aku kuliahpun harus niatnya karena Allah, aku berusaha mengkaji lebih dalam Q.S Al-Anam ayat 162. Subhanallah, jadi penyemangat di kala aku lelah dengan kesibukanku yang berprofesi sebagai dokter.

Aku mempunyai cita-cita ingin mendirikan rumah sakit bersalin, cita-citakupun sangat didukung oleh ayah, tetapi ayah mengajukan syarat setelah aku mendapat gelar dokter meskipun belum menyelesaikan pendidikanku jadi spesialis kandungan aku sudah disuruh nikah dulu, alasannya ayah sudah tua.

Aku adalah anak tunggal, ibuku sedang sekolah di luar negeri di Amerika Serikat untuk meraih gelar doktor S-3 setelah meraih gelar M.M di Universitas Indonesia. Sudah dua tahun ibuku di Amerika, gumamku dalam hati sambil memandang foto ibu yang terpajang di meja belajarku. ”Cepatlah pulang, Ibu!, aku dan ayah sangat merindukan ibu”. Kasihan ayah tidak ada yang menyiapkan makan dan mengajaknya berbincang karena aku juga sering pulang malam dari rumah sakit, jadwal praktek yang padat karena sudah kewajibanku sebagai dokter mengobati banyak pasien di rumah sakit. Sebenarnya aku kurang setuju ibuku kuliah S-3 di luar negeri meskipun ayahku mengizinkan ibu ngambil S-3 di luar negeri.

Bagaimanapun seorang istri itu jangan sampai lupa akan tugasnya dan kewajibannya. Aku lebih setuju ibu ngambil S-3 di dalam negeri saja jadi ga harus meninggalkan ayah. Kalaupun aku suatu saat ngambil S-3 aku pengen ga jauh dari suamiku, kalau perlu S-3 bareng di luar negeri sama suamiku, ”so sweet banget ya”, gumamku dalam hati.

*****

Suatu hari aku menanyakan kabar Didit kepada ayah. ”Ayah, bagaimana kabar Didit setelah lima tahun kerja di perusahaan ayah?”, tanyaku sambil menyuguhkan secangkir kopi hangat, kebetulan hari ini hari libur sehingga aku bisa menemani ayah seharian di rumah.”Alhamdulillah prestasi kerjanya sungguh luar biasa, sehingga dia mendapatkan program beasiswa dari perusahaan ayah.

Ayah memang memberikan beasiswa bagi karyawan yang prestasinya bagus, harapan ayah bisa memacu, mendorong semangat kerja karyawan. Ayah juga tidak menyangka yang mendapatkan bea siswa itu Didit, dia empat tahun yang lalu kuliah di Universitas Indonesia jurusan Teknik Informatika jalur ekstensi. Dia bekerja sambil kuliah, IPK Didit mencapai cumlaude.

Setelah meraih gelar Sarjana Teknik, ayah memposisikan dia menjadi Kepala Bagian Pemasaran. Alhamdulillah perkembangan perusahaan ayah semakin pesat, otaknya memang cerdas dan konseptor yang ulung. Kemarin dia memohon doa restu kepada ayah untuk mendirikan LSM Bina Ummat yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Dia mempunyai cita-cita ingin mensejahterakan umat, juga ingin menyelamatkan pola pikir masyarakat yang sudah dipengaruhi oleh paham sekuler dan liberal”, papar ayah sambil menikmati kue cake buatanku. ”

“Ayah, ini coba baca seorang aktivis feminis berpendapat bahwa homoseksual itu hukumnya boleh, masya Allah. Bagaimana komentar ayah?”, tanyaku sambil menyerahkan koran yang berisi artikel tersebut. ”Itulah orang yang hanya mengandalkan pemikiran akal tanpa didasari dengan pemahaman agama yang benar”, komentar ayah. Itulah yang menjadi salah satu alasan Didit untuk mendirikan LSM tersebut. Alhamdulillah sudah enam bulan LSM tersebut berdiri, selain membuka lapangan kerja, LSM tersebut juga ikut andil dalam memperbaiki pemikiran dan akhlak masyarakat, meskipun keuntungan dari LSM tersebut tidak begitu banyak, tapi manfaatnya untuk masyarakat sangat banyak.

*****

Didit sekarang sudah punya rumah sendiri dan mobil sendiri. Penghasilan yang dia dapatkan selama bekerja di perusahaan ayah, dia tabung dan sering mengirim uang untuk kedua adiknya yang kuliah di Jogja. Ibunya tinggal bersama Didit, ayahnya sudah meninggal semenjak dia lulus SMK.

“Dia sekarang sudah sudah sukses, Git. Insya Allah ayah sangat percaya kepada Didit untuk menjadi teman hidupmu sepanjang masa”. ”Maksud, ayah?”, tanyaku dengan tidak menyangka apa yang diucapkan ayah kepadaku, sebenarnya sudah lama semenjak Didit bekerja di perusahaan ayah aku menaruh simpati kepada Didit tetapi karena kesibukanku kuliah dan bekerja aku tidak begitu menghiraukan perasaanku demi cita-citaku tercapai, aku juga ingin sukses seperti kedua orang tuaku dan teman masa kecilku Didit.

”Bagaimana, Nak apakah kamu mau setuju dengan rencana ayah? Insya Allah seminggu yang akan datang dia akan ke rumah untuk melamarmu”. Insya Allah kalau Didit memang yang terbaik dan dia adalah jodohku yang Allah anugerahkan, Gita siap Ayah untuk menjadi partner dalam berumah tangga”, jawabku. ”Alhamdulillah ayah sangat bangga padamu, Insya Allah besok lusa ibumu akan datang dari Amerika dan akan tinggal disini sambil menyelesaikan disertasinya di Indonesia dia akan selalu menemanimu sampai pesta pernikahanmu”. Benarkah, Ayah?”, aku terharu sambil mencium tangan ayah.

******






Penulis : Wuri Ratna Hidayani, S.KM, M.Sc
                 Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat,
                 STIKes Respati Tasikmalaya






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meriahnya Puncak Acara Dies Natalis STIKes Respati Tasikmalaya Ke-15 Dengan Gerak Jalan Sehat Yang Mengedukasi

Partograf Digital, Aplikasi Praktis Pemantau Persalinan Ala Dosen Prodi Kebidanan, STIKes Respati Tasikmalaya

Peringatan Hari Ibu Hingga Seminar Dosen Mahasiswa